"...Untuk melepaskan diri dari terkurungnya bahasa lisan, manusia menciptakan suatu sarana yang nyata dan kekal, yaitu tulisan. Tulisan itu memainkan peranan yang penting sekali dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari, di bidang ilmu pengetahuan, kekuasaan politik, dan sebagainya ...." (Moelen, 1985:3)
Aksara Jawa sebagai salah satu khasanah budaya Indonesia sudah selayaknya dilestarikan. Dari data yang dirilis oleh Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2021, aksara Jawa termasuk salah satu dari 12 aksara bahasa daerah yang teridentifikasi di Indonesia. Aksara Jawa bersanding dengan aksara-aksara lain di nusantara, seperti aksara Bali, aksara Sunda Kuno, aksara Bugis/Lontara, aksara Rejang, aksara Lampung, aksara Karo, aksara Pakpak, aksara Simalungun, aksara Toba, aksara Mandailing, serta aksara Kerinci (Rencong) yang masih bisa dilihat keberadaannya hingga kini. Untuk mempertahankan eksistensi aksara daerah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kebijakan-kebijakan khusus yang mengatur tentang pelestarian dan pengembangan bahasa, sastra, dan aksara. Pemerintah daerah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai daerah pemilik aksara Jawa juga turut mengupayakan perlindungan aksara Jawa dengan mengeluarkan peraturan terkait pelestarian aksara Jawa.
Para pegiat, pemerhati sastra dan budaya juga tak kalah semangat mengupayakan yang terbaik untuk pelestarian aksara Jawa. Prinsipnya, seperti yang dikatakan oleh Moelen dalam kutipan kalimat di atas, bahwa aksara menjadi penanda penting lahirnya peradaban manusia yang lebih maju. Aksara sebagai penanda batas kehidupan prasejarah dan sejarah manusia. Terkait penggunaan aksara di berbagai bidang kehidupan, seperti bidang ilmu pengetahuan, kekuasaan politik, ekonomi, dan sebagainya, kehadiran aksara menunjukkan kepemilikan sebuah fungsi tertentu. Aksara Jawa setidaknya memiliki fungsi literer, estetis, serta kultural.
Pertama, dari fungsi literer, penggunaan aksara Jawa pertama kali menandakan bahwa sejak saat itulah aksara Jawa dijadikan huruf resmi suatu tulisan. Aksara Jawa lantas banyak digunakan dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kerajaan (Soekmono, 1993). Prasasti berbahasa Jawa kuna tertua yang ditemukan di desa Sukabumi, Kediri, Jawa Timur, tercatat memiliki angka tahun 726 atau 804 Masehi. Kehadiran aksara Jawa dalam prasasti ini lantas menjadi penanda fungsi literer aksara Jawa yang kemudian masif digunakan oleh kerajaan-kerajaan yang berkembang di tanah Jawa sejak dahulu kala, mulai dari kerajaan Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram. Semua prasasti yang muncul di era kerajaan-kerajaan tersebut tertulis dengan aksara Jawa. Bahkan sejak zaman kerajaan Mataram Kuna, dari abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-20, lahir banyak karya sastra Jawa yang ditulis dengan aksara Jawa. Hingga saat ini, aksara Jawa masih tampak penggunannya sebagai tulisan nama jalan, nama bangunan, nama gedung perkantoran, bahkan di Yogyakarta, telah ada kebijakan khusus terkait penggunaan aksara Jawa sebagai kop resmi dalam surat-menyurat di instansi pemerintah daerah.
Kedua, fungsi estetis atau fungsi keindahan. Dalam berbagai penulisan karya sastra Jawa kuna, seperti dalam manuskrip-manuskrip kuno, tampak bagaimana para pujangga mencoba menulis aksara Jawa dengan begitu indah. Karya satu ke karya lainnya memiliki bentuk keindahan aksara Jawa yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing pujangga. Nilai estetika aksara Jawa lainnya tampak pada penulisan seni kaligrafi aksara Jawa.
Ketiga, fungsi kultural. Aksara Jawa yang mulai digunakan di akhir abad ke-8, merupakan bentuk tingginya kebudayaan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang tidak puas dengan kehadiran aksara Pallawa, dengan inovasi dan kreativitasnya lantas mampu membuat bentuk huruf yang berbeda dengan pengucapan yang berbeda dari aksara Pallawa. Hal ini lantas membuat aksara Jawa merupakan sebuah seni yang bernilai adiluhung karena tidak semua kelompok masyarakat mampu merancang aksara daerahnya sendiri. Pada akhirnya, jangan lupakan jas merah! Bangsa yang berbudaya besar adalah bangsa yang mempunyai aksara sebagai identitas dan jati diri bangsa itu sendiri. Aksara Jawa perlu untuk masif digunakan dalam mengisi ruang-ruang kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa agar keberadaannya tidak punah oleh peradaban zaman yang semakin berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar